OLAHRAGA KESEHATAN MENCEGAH SINDROM
METABOLISME DAN PENYAKIT DEGENERATIF
Mohammad Syamsul Anam
Program Studi Pendidikan Olahraga
Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Abstrak: Penyakit-penyakit yang muncul karen kurang
aktivitas olahraga adalah seperti Sindrom
Metabolisme (SM) dan penyakit degeneratif. Perlu peanganan bagaimana pencegahan sindrom
metabolisme, dan penyakit degeratif melalui kegiatan olahraga kesehatan.
Kegiatan olahraga kesehatan telah terbukti dapat
meningkatkan unsur-unsur kekebalan (antibody) dalam tubuh, sehingga secara umum
pelaku-pelaku olahraga kesehatan memang tidak mudah sakit.
Kata Kunci: Olahraga, Sindrom Metabolisme, Penyakit Degeneratif.
Sehat adalah kebutuhan dasar bagi setiap aktivitas
kehidupan, kesehatan harus selalu dipelihara dan ditingkatkan. Cara termurah
yang dapat dilakukan untuk memelihara kesehatan melalui olahraga. Pembinaan
mutu sumber daya manusia mengacu kepada konsep sejahtera paripurna yaitu Konsep
Sehat Organisasi Dunia (WHO) yang mengemukakan bahwa sehat adalah sejahtera
jasmani, rohani dan sosial, dan bukan hanya terbebas dari penyakit, cacat
ataupun kelemahan.
Tujuan pembinaan dan pemeliharaan kesehatan adalah
memelihara dan meningkatkan kemandirian dalam kehidupan
bio-psiko-sosiologisnya, yaitu secara biologis menjadi (lebih) mampu menjalani
kehidupan pribadinya secara mandiri, tidak tergantung pada bantuan orang lain.
Secara psikologis menjadi (lebih) mampu memposisikan dalam hubungannya dengan
Tuhan beserta seluruh ciptaanNya berupa
flora dan fauna (termasuk
manusia) dan secara sosiologis menjadi (lebih) mampu bersosialisasi dengan
masyarakat lingkungannya. Meningkatnya sikap mandiri dalam kehidupan
bio-psiko-sosiologis ini berarti meningkatnya kemampuan dan kualitas hidup yang
berarti juga meningkatnya kesejahteraan yang senantiasa harus mencapai ketiga
aspek sehatnya WHO.
Kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rohaniah dilakukan dengan upaya menunjukkan dan menyadarkan
posisi dirinya dalam hubungannya dengan Tuhan semesta alam beserta seluruh
ciptaanNya, serta dengan menanamkan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap
pelestarian lingkungan sebaik-baiknya dan percaya diri yang tinggi namun rendah
hati. Perlu juga ditanamkam kesadaran untukn melakukan upaya-upaya untuk menyegarkan
suasana kehidupan, mencerdaskan kemampuan pikiran intelektual dan menghilangkan
strees, disamping itu juga
meningkatkan volume dan kualitas
pemahaman dalam kehidupan beragama beserta peningkatan kualitas pelaksanaan
ibadahnya.
Olahraga baik sebagai kegiatan maupun sebagai media
pendidikan mempunyai potensi yang besar untuk menyumbangkan kontribusinya dalam
masalah ini. Melalui olahraga dapat dengan mudah ditunjukkan betapa terbatasnya
kemampuan manusia, betapa perlu kita memelihara lingkungan hidup kita, betapa
banyak hal yang diluar kemampuan akal manusia dan betapa perlu kita mencegah kerusakan
dan perbutan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi. Kesejahteraan
jasmani ditingkatkan dengan olahraga kesehatan, untuk meningkatkan derajat
kesehatan dinamis, sehingga orang bukan saja sehat dikala diam (sehat statis) tetapi juga sehat serta
mempunyai kemampuan gerak yang dapat mendukung setiap aktivitas dalam peri
kehidupannya sehari-hari (sehat
dinamis).
Olahraga umumnya bersifat masal sehingga lebih
menarik, semarak serta menggembirakan (aspek rohaniah), seperti yang terjadi
pada pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga di lembaga-lembaga pendidikan.
Berkelompok merupakan sarana dan rangsangan untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial karena masing-masing individu akan bertemu dengan sesamanya, sedangkan
suasana lapangan pada olahraga akan sangat mencairkan kekakuan yang disebabkan
oleh adanya perbedaan status intelektual dan sosial ekonomi para pelakunya. Oleh
karena itu olahraga hendaknya menjadi materi pokok dalam Pendidikan Jasmani di
sekolah-sekolah maupun pesantren. Dampak psikologis yang sangat positif dengan
diterapkannya materi olahraga di sekolah adalah rasa kebersamaan dan kesetaraan
diantara sesama siswa, sebab mereka merasa mampu melakukan olahraga dengan
baik. Sebaliknya, bila olahraga menjurus kearah olahraga prestasi diterapkan di
sekolah maka dapat menyebabkan sebagian siswa merasa terpinggirkan dari kegiatan
olahraga karena merasa tidak mampu berprestasi.
Gemar dan senang berolahraga mencegah penyakit, hidup menjadi
sehat dan nikmat. Malas berolahraga artinya mengundang penyakit. Tidak
berolahraga berarti menelantarkan diri. Kesibukan, keasyikan dan kehausan dalam
kehidupan “duniawi”, sering menyebabkan orang menjadi kurang gerak, disertai
stress yang dapat mengundang berbagai penyakit dari non-infeksi (penyakit bukan
oleh karena infeksi) sampai penyakit infeksi. Hal ini banyak dijumpai pada
kelompok usia muda, tua dan lanjut, khususnya yang tidak melakukan olahraga dan
tidak menjalankan pola hidup sehat. Mayoritas orang memiliki kebiasaan olahraga
yang tidak teratur, yaitu sebesar (89,6%) dari 100 responden. Sedangkan
responden yang memiliki kebiasaan olahraga teratur hanya berjumlah 7 responden
(10,4%) (Wulandari, Isfandiari, 2013).
Penyakit-penyakit yang muncul adalah seperti Sindrom Metabolisme (SM) dan penyakit
degeneratif. Data epidemiologi menyebutkan prevalensi
SM dunia adalah 20–25%. Hasil penelitian Framingham Offspring Study
menemukan bahwa pada responden berusia 26–82 tahun terdapat 29,4% pria dan
23,1% wanita menderita SM. Sedangkan penelitian di Perancis menemukan prevalensi SM sebesar 23% pada pria dan
21% pada wanita. Data dari Himpunan Studi
Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi
SM sebesar 13,13%. Sedangkan penyakit degeneratif seperti kanker (Neoplasma
diseases) merupakan sumber penyakit yang paling besar (40%) penyebab
kematian manusia. Yang nomor dua adalah penyakit yang berkaitan dengan jantung
dan pembuluh darah yaitu sebesar 39%, Sedangkan hati (sirosis) dan gula
(diabetes) hanya masing-masing menyumbang dibawah 2%.
Dampak lebih lanjut dari rasa “terpinggirkan” adalah
timbulnya kebencian terhadap olahraga. Kondisi demikian merupakan kondisi
psikologis yang sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan dan penyebarluasan
olahraga kesehatan di masyarakat. Dengan pengelolaan yang baik maka suasana
melakukan olahraga, akan sangat meningkatkan gairah dan semangat hidup para
pelakunya, dengan demikian potensi olahraga sangat perlu dipahami semua pihak
yang berkepentingan dalam pembinaan peserta didik bahkan sampai kesehatan
masyarakat luas.
Dari latar
belakang yang telah dipaparkan diatas tujuan dari penulisan makalah diharapkan
pembaca mengerti tentang pencegahan sindrom metabolisme, dan penyakit degeratif
melalui olahraga kesehatan.
Kegiatan Olahraga dan Olahraga Kesehatan
Olahraga merupakan aktivitas fisik yang
sangat penting untuk mempertahankan kebugaran jasmani seseorang. Menurut
Giriwijoyo, Sidik (2013:37) olahraga adalah Serangkaian gerak raga yang teratur
dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan
fungsionalnya. Cholik Mutohir olahraga adalah
proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong
mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang
sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan
atau pertandingan.
Hakikat persyaratan yang harus
dipenuhi manusia untuk dapat berpartisipasi dalam olahraga pada umumnya adalah
mereka yang sehat, mereka yang ingin memelihara kesehatannya dan meningkatkan
derajat kesehatannya, dan mereka yang ingin berpartisipasi dalam cabang
olahraga. Olahraga dibagi bedasarkan sifat atau tujuannya yaitu: Olahraga
prestasi sebagi tujuan dan olahraga prestasi, olahraga kesehatan, olahraga
pendidikan sebagai alat mencapai tujuan. Ditinjau dari segi jumlahnya, maka
olahraga dapat dibagi menjadi olahraga: Perorangan dilakukan 1 – 4 orang, kelompok dilakukan 6 – 22 orang, massal dilakukan
> 22 orang.
Olahraga kesehatan adalah olahraga untuk memelihara
dan untuk meningkatkan derajat kesehatan dinamis, sehingga orang bukan saja
sehat dikala diam (sehat statis) tetapi juga sehat serta mempunyai kemampuan gerak
yang dapat mendukung setiap aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari (sehat
dinamis) yang bersifat rutin, maupun untuk keperluan rekreasi atau mengatasi
keadaan gawat-darurat.
Olahraga kesehatan ialah suatu bentuk kegiatan
olahraga untuk tujuan kesehatan. Sebagai suatu kegiatan olahraga, jelas ia
menggarap raga atau jasmani (aspek jasmani). Sifat atau ciri umum olahraga
kesehatan menurut Giriwijoyo, Sidik (2013:39) adalah sebagi berikut: (1) Massal,
olahraga kesehatan harus mampu menampung sejumlah besar peserta secara
bersama-sama. (2) Mudah, gerakannya mudah, sehingga dapat diikuti oleh orang
kebanyakan dalam jumlah banyak (besifat massal), yang dapat memperkaya dan
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan gerak dasar, yaitu gerak yang diperlukan
untuk kegiatan hidup sehari-hari. (3) Murah, peralatan sangat minim atau bahkan
tanpa peralatan sama sekali. (4) Meriah, mampu membangkitkan kegembiraan dan
tidak membosankan (kepandaian pelatihanya. (5) Manfaat dan aman, manfaatnya
jelas bisa dirasakan, serta aman dilakukan oleh setiap peserta dengan tingkat
umur dan derajat sehat dinamis yang berbeda-beda, intensitas sub-maksimal dan
homogen, bukan gerakan-gerakaan maksimal atau gerakan eksplosif maksimal
(faktor keamanan).
Ahli kesehatan sepakat
bahwa olahraga kesehatan dapat meningkatkan kebugaran jasmani yang ditandai
dengan meningkatnya fungsi jantung, pembuluh darah, sirkulasi darah, sistem
pernafasan dan proses metabolisme, serta kemampuan tubuh untuk menangkal
bermacam-macam penyakit baik yang disebabkan oleh infeksi maupun bukan karena
infeksi.
Pekik (2003:2-3)
beberapa istilah yang sering dipergunakan seperti kebugaran, kesegaran,
kesemaptaan dan fitness pada dasarnya
memiliki pengertian yang sama, meliputi kebugaran fisik, kebugaran mental,
kebugaran emosi, dan kebugaran sosial atau diberi istilah total fitness. Secara umum yang dimaksud
kebugaran adalah kebugaran fisik, yaitu kemampuan seseorang untuk dapat
melakukan kerja sehari-hari secara efisien tanpa timbul kelelahan yang berlebih
sehingga masih dapat menikmati waktu luangnya. Kebugaran digolongkan menjadi 3
kelompok, yaitu: (1) Kebugaran statis: keadaan seseorang yang bebas dari
penyakit dan cacat atau disebut sehat. (2) Kebugaran dinamis: kemampuan
seseorang untuk bekerja secara efisien yang tidak memerlukan keterampilan
khusus, misalnya berjalan, berlari, melompat, mengangkat. (3) Kebugaran
motoris: kemampuan seseorang untuk bekerja secara efisien yang menuntut
keterampilan khusus. Misalnya seorang pemain sepak bola dituntut untuk berlari
cepat sambil menggiring bola.
Manfaat kegiatan olahraga kesehatan adalah sebagi
berikut: (1) meningkatkan
kerja dan fungsi jantung, paru dan pembuluh darah yang ditandai dengan; (a) aerobik adalah
olahraga yang dilakukan secara terus-menerus dimana kebutuhan oksigen masih
dapat dipenuhi tubuh. Misalnya jogging, senam, renang, bersepeda. (b) anaerobik adalah olahraga dimana kebutuhan
oksigen tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh tubuh seperti angkat besi, lari
sprint 100m, tenis lapangan, bulu tangkis. Denyut nadi istirahat menurun,
kapasitas bertambah, penumpukan asam laktat berkurang, meningkatkan pembuluh
darah kolateral, meningkatkan hdl kolesterol, mengurangi aterosklerosis. (2) meningkatkan kekuatan otot dan kepadatan
tulang yang ditandai pada; (a) pada anak : mengoptimalkan pertumbuhan, (b) pada orang
dewasa: memperkuat masa tulang,menurunkan nyeri sendi kronis pada pinggang,
punggung dan lutut. (3) meningkatkan kelenturan (fleksibilitas) pada tubuh
sehingga dapat mengurangi cedera. Meningkatkan metabolisme tubuh untuk mencegah
kegemukan dan mempertahankan berat badan ideal. (4) mengurangi resiko terjadinya berbagai
penyakit seperti; (a) tekanan darah tinggi; mengurangi tekanan sistolik dan
diastolik. (b) penyakit
jantung koroner; menambah hdl-kolesterol dan mengurangi lemak tubuh. (c) kencing manis; menambah sensitifitas
insulin. (d) infeksi;
meningkatkan sistem imunitas. (5) meningkatkan sistem hormonal melalui peningkatan
sensitifitas hormon terhadap jaringan tubuh. (6) meningkatkan aktivitas sistem kekebalan
tubuh terhadap penyakit melalui peningkatan pengaturan kekebalan tubuh. (7) penelitian kavanagh, latihan aerobik 3
kali seminggu selama 12 minggu, (a) meningkatkan pembuluh darah kolateral, (b)
meningkatkan hdl kolesterol, (c) mengurangi aterosklerosis.
Menurut ryan (2015:6) meningkatkan kebugaran fisik secara
keseluruhan, memiliki manfaat berikut: (1) mengurangi
risiko beberapa penyakit. Misalnya, para ahli kesehatan menyarankan bahwa
menjadi aktif dapat mengurangi resiko terkena stroke atau penyakit jantung
sebesar 10%, dan diabetes tipe 2 sebesar 30-40%. (2) mengurangi
risiko masalah kesehatan fisik seperti tubuh kita beradaptasi. Ketika kita
menjadi lebih bugar, tubuh kita dapat lebih baik mengatur kami tingkat
kortisol. Kortisol adalah 'hormon stres' yang melepaskan tubuh kita dalam
menanggapi kecemasan; lebih dari waktu yang lama, kadar kortisol yang lebih
tinggi telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan termasuk jantung
penyakit, tekanan darah tinggi, respon imun diturunkan, serta depresi dan
kecemasan. (3) organ sehat. Saat anda aktif tubuh
anda bekerja lebih, yang baik untuk organ tubuh anda. Misalnya, sebuah hati
yang kuat akan membantu anda memiliki kolesterol dan tekanan darah rendah. (4) tulang
sehat. Latihan angkat beban akan memperkuat anda tulang dan membangun otot
anda, yang dapat mengurangi kesempatan anda mengembangkan osteoporosis.
Gemar
berolahraga mencegah penyakit, hidup menjadi sehat dan nikmat. Malas
berolahraga artinya mengundang penyakit. Tidak berolahraga berarti menelantarkan
diri. Kesibukan, keasyikan dan kehausan dalam kehidupan “duniawi”, sering
menyebabkan orang menjadi kurang gerak, disertai stress yang dapat mengundang
berbagai penyakit non-infeksi (penyakit bukan oleh karena infeksi). Hal ini
banyak dijumpai pada kelompok usia madya, tua dan lanjut, khususnya yang tidak
melakukan olahraga dan tidak menjalankan pola hidup sehat.
Peran olahraga kesehatan dalam
hubungannya dengan penyakit ini terutama terhadap golongan penyakit
non-infeksi. Terhadap penyakit infeksi khususnya dalam keadaan akut, olahraga
justru dapat membahayakan. Akan tetapi dalam keadaan sehat, olahraga kesehatan
bahkan telah terbukti dapat meningkatkan unsur-unsur kekebalan (antibody) dalam
tubuh, sehingga secara umum pelaku-pelaku olahraga kesehatan memang tidak mudah
sakit. Namun deikian untuk mendapatkan kekebalan yang lebih spesifik terhadap
suatu penyakit, masih tetap diperlukan pencegahan melalui vaksinasi. Ini yang
perlu diperhatikan mengapa orang masih terkena influenza, demam tifus perut, dan
penyakit-penyakit infeksi lainnya, walaupun ia telah melakukan olahraga
kesehatan secara teratur.
Dosis
olahraga, secara umum disarankan dalam durasi 30-60 menit setiap hari dan dapat
dimodifikasi sesuai pertimbangan tertentu. Apabila baru memulai, dapat diawali
dengan durasi 15 menit yang kemudian terus ditingkatkan setiap hari dan
dipertahankan pada durasi waktu yang ingin dicapai. Masalahnya, 60 menit
berjalan santai tentu saja berbeda dengan 60 menit lari santai dan berbeda lagi
dengan 60 menit lari cepat. Oleh karena itu, diperlukan perhitungan dosis
olahraga untuk masing-masing individu, yang dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, genetik, dan fungsi kardiorespirasi sebelumnya. Olahraga yang terlalu
berlebihan, sama halnya dengan olahraga yang tidak adekuat tentu saja tidak
akan membawa manfaat.
Terdapat
beberapa cara untuk menghitung dosis olahraga. Paling sederhana dengan mengukur
nadi (yang bisa diraba di pergelangan tangan) atau denyut jantung. Selama
olahraga, ada target denyut jantung yang harus dicapai. Ada pula target denyut
jantung maksimal yang diperbolehkan. Cara menghitungnya yaitu 220 - usia.
Sebagai contoh, olahraga untuk orang berusia 30 tahun. Maka target denyut
jantung maksimal selama olahraga yang diizinkan adalah 220 - 30 = 190 kali/menit.
Angka ini
dikurangi dengan denyut jantung saat istirahat. Misalnya denyut jantung saat
istirahat adalah 80 kali/menit, berarti 190 - 80 = 110 kali/menit. Kita ambil
angka kisaran olahraga sebesar 70% (untuk olahraga aerobik, kisaran nilai
bervariasi antara 45-85), yang artinya 70% dari 110 kali/menit yakni 77
kali/menit. Maka, target denyut jantung selama olahraga yang ideal untuk orang
tersebut adalah angka tersebut ditambah dengan denyut jantung istirahat, yakni
77 + 80 = 157 kali/menit.
Sindrom metabolisme
Sindroma metabolik atau dikenal dengan metabolic
syndrome (mets) adalah sebuah sebutan untuk sekelompok kelainan
dengan berbagai konsekuensi klinis, yang ditandai dengan adanya gangguan
toleransi glukosa, resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi, kelainan
koagulasi dan obesitas visceral. Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko
metabolik yang berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler
artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia
atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma,
keadaan prototrombik, dan proinflamasi (widjaya, 2004).
Sindrom metabolik (sm)
adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi, obesitas sentral
dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi
tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut
memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer (who, 2000).
Sindrom metabolik dikenal dengan
berbagai nama. Perhatian medis pertama yaitu pada tahun 1923, ketika kylin
memaparkan kelompok gout, hipertensi dan hiperglikemia. Yang kemudian sindrom
metabolik pertama kali dijelaskan oleh jean vague pada tahun 1940, yang
menghubungkan obesitas abdominal dengan abnormalitas metabolik. Tiga dekade
kemudian, yaitu pada tahun 1970 gerald phillips menyatakan bahwa umur, obesitas
dan sex hormon dihubungkan dengan manifestasi klinis, yang sekarang disebut
sindrom metabolik dan dihubungkan dengan penyakit jantung.
Akhirnya pada tahun 1988, gerald
reaven mengajukan hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan
trigliserida, dan kolesterol hdl yang rendah dan dinamakan kumpulan
abnormalitas sindrom-x. Yang akhirnya pada tahun 1998 the world health organization mengajukan nama “metabolic sindrom” yang didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih
abnormalitas metabolik (pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2
atau lebih faktor-faktor dibawah (isomaa et al, 2001): (1) hipertensi dengan
perlakuan atau tekanan darah >160 / >90 mmhg, (2) trigliserida ³150 mg/dl, (3) hdl <35 mg/dl
pada laki-laki, atau <40 mg/dl pada perempuan, (4) rasio lingkar pinggang >0.90 pada
laki-laki atau >0.85 pada wanita, (5) mikroalbuminuria
Kebanyakan
menggunakan defenisi yang telah ditetapkan oleh World Hearth Organization (WHO) and
the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap
bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler
disamping peningkatan kadar kolesterol Low
Density Lipoprotein (LDL). Dislipidemia aterogenik (protrombotik state), Resistensi insulin, hipertensi, obesitas
abdominal dan peningkatan marker inflamasi dianggap sebagai karakteristik yang
menyolok dari sindrom metabolik (Pitsavos, 2006).
Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah
diajukan, yaitu definisi World Health
Organization (WHO), NCEP ATP-III dan International
Diabetes Federation (IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama
yang sama dengan penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan
Zimmet atas nama WHO menyampaikan definisi SM dengan komponen - komponennya
antara lain : (1) gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi
insulin (3) hipertensi (4) dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150
mg/dL dan/atau kolesterol high density lipoprotein (HDL-C) < 35 mg/dL untuk
pria; < 39 mg/dL untuk wanita; (5) obesitas sentral (laki-laki : waistto-hip
ratio > 0,90; wanita: waist-to-hip ratio > 0,85) dan/atau indeks massa
tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion
Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin > 30 mg/g). SM dapat terjadi
apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir
terdapat pada individu tersebut, Jadi kriteria WHO 1999 menekankan pada adanya
toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan atau resitensi insulin
yang disertai sedikitnya 2 faktor risiko lain yaitu hipertensi, dislipidemia,
obesitas sentral dan mikroalbuminaria (Adriansjah dan Adam, 2006).
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai
pasien SM adalah NCEP-ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5
kriteria yang disepakati, antara lain: lingkar perut pria > 102 cm atau
wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida > 150 mg/dL),
kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL untuk wanita; tekanan
darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL. Suatu
kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas sentral menjadi indikator
utama terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru
oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas sentral
(lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut > 80 cm untuk
wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida > 150 mg/dL
(1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2)
HDL-C: < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,29 mmol/L)
pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan
darah: sistolik > 130 mmHg atau diastolik > 85 mmHg atau sedang dalam
pengobatan hipertensi; (4) Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L),
atau diabetes tipe 2. Hingga saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan
kriteria indikator SM yang terbaru tersebut (IDF, 2005).
Kriteria diagnosis NCEP- ATP
III menggunakan parameter yang lebih mudah untuk diperiksa dan diterapkan oleh
para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah mendeteksi sindroma metabolik.
Yang menjadi masalah adalah dalam penerapan kriteria diagnosis NCEP-ATP III
adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar pinggang antara berbagai jenis
etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO mengusulkan lingkar pinggang untuk
orang Asia ≥ 90 cm pada pria dan wanita ≥ 80 cm sebagai batasan obesitas
sentral.
Belum ada kesepakatan
kriteria sindroma metabolik secara international, sehingga ketiga definisi di
atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel 1 berikut menggambaran
perbedaan ketiga definisi tersebut.
Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO
(World Health Organization), NCEP-ATP III dan IDF
Komponen
|
Kriteria diagnosis WHO:
Resistensi insulin plus :
|
Criteria diagnosis ATP III : 3 komponen di bawah ini
|
IDF
|
Obesitas abdominal/ sentral
|
Waist to hip
ratio :
Laki-laki :
> 0,9
Wanita : > 0,85 atau
IMB >30 Kg/m
|
Lingkar perut :
Laki-laki: 102 cm
Wanita : >88 cm
|
Lingkar perut :
Laki-laki: ≥90
cm
Wanita : ≥80 cm
|
Hiper-trigliseridemia
|
≥150 mg/dl (≥ 1,7 mmol/L)
|
≥ 150 mg/dl (≥1,7 mmol/L)
|
≥ 150 mg/dl
|
Hipertensi
|
TD ≥ 140/90 mmHg atau riwayat terapi
anti hipertensif
|
TD ≥ 130/85 mmHg atau riwayat terapi
anti hipertensif
|
TD sistolik ≥
130 mmHg
TD diastolik ≥
85 mmHg
|
Kadar glukosa darah tinggi
|
Toleransi glukosa terganggu, glukosa
puasa terganggu,resistensi insulin atau DM
|
≥ 110 mg/dl
|
GDP ≥ 100mg/dl
|
Mikro-albuminuri
|
Rasio albumin urin dan kreatinin 30
mg/g atau laju eksresi albumin 20 mcg/menit
|
|
|
Prevalensi obesitas telah meningkat secara
dramatis di Amerika Serikat, dan juga di berbagai negara di dunia. Telah
diketahui bahwa obesitas berhubungan dengan penyakit vaskular dan berkenaan
dengan Sindrom Metabolik. Data epidemiologi menyebutkan prevalensi SM dunia
adalah 20–25%. Hasil penelitian Framingham Offspring Study (dalam HISOBI) menemukan bahwa pada
responden berusia 26–82 tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita
SM. Sedangkan penelitian di Perancis menemukan prevalensi SM sebesar 23% pada
pria dan 21% pada wanita. Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi SM
sebesar 13,13%.
Terdapat berbagai macam jenis
olahraga yang dapat dilakukan, dari olahraga yang ringan, sedang hingga berat.
Olahraga fisik memiliki 4 komponen dasar yaitu kekuatan otot, daya tahan otot,
fleksibilitas dan daya tahan kardiorespi (Syatria, A. 2006). Olahraga
kardio/jantung/aerobik akan bermanfaat pada ketahanan daya tahan jantung, paru,
peredaran darah, otot-otot dan sendi-sendi. Oleh karena itu, olahraga aerobik
dapat disarankan untuk penderita hipertensi karena olahraga aerobik dapat
menurunkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik pada pasien. Dalam Sharman,
J.E., Stowasser, M., 2009 disebutkan bahwa studi olahraga aerobik menunjukkan
hasil bahwa olahraga memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dalam menjaga
perkembangan dari hipertensi pada pria. Olahraga aerobik juga menimbulkan efek
seperti obat beta blocker yang dapat meredam dan menenangkan sistem saraf
simpatikus dan melambatkan denyut jantung. Jenis olahraga yang efektif dalam
menurunkan tekanan darah adalah olahraga dengan intensitas sedang (70-80%),
dengan frekuensi latihannya 3-5 kali seminggu dalam rentang waktu 20-60 menit
sekali latihan. Selain olahraga aerobik, olahraga kekuatan otot (resistance axercise) juga dapat
dilakukan untuk menurunkan tekanan darah. Olahraga ini dapat dikombinasikan
dengan olahraga aerobik untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam pengobatan.
Rekomendasi olahraga menurut
Sharman, J.E., Stowasser, M., 2009 untuk penderita hipertensi berdasarkan FITT
(Frekuensi, Intensitas, Time (waktu), Tipe) adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Rekomendasai Olahraga Untuk Penderita
Hipertensi
Tipe Olahraga
|
Intensitas
|
Time (waktu)
|
Frekuensi
|
Aerobik (endurance) Berjalan
Jogging
|
Sedang :
40-60% HHR atau 12-13 RPE Atau
Berat :
60-84% HHR atau 14-16 RPE
|
30 menit
20 menit
|
5
hari/minggu
3
hari/minggu
|
Resistensi (peregangan) otot Latihan
beban secara progresif menggunakan otot otot utama Latihan anak tangga
|
1 set
8-10 kali
latihan
|
2 hari atau lebih/minggu dengan hari yang tidak berurutan
|
Sumber : Sharman, J.E., Stowasser, M., 2009
Olahraga
diatas akan sangat berpengaruh dalam status tekanan darah pada penderita,
karena dalam hal ini tekanan darah sangat memegang peranan penting dalam
penentuan olahraga yang dilakukan oleh penderita. Selain itu juga terdapat
peresepan untuk latihan kekuatan otot jantung atau latihan aerobik dan
peresepan latihan resistensi bagi penderita hipertensi, yaitu :
Tabel 3 Latihan Kardio Untuk Hipertensi
Frekuensi
|
3 – 7 hari
per minggu
|
Intensitas
|
Intensitas sedang, 64 – 76 % HRmax
Skor 12-13 skala Borg Rating of
Percieved Exertion (RPE) dengan rentang skor 6-20; dan skor 3-4 pada
skala dengan rentang skor 1-10. RPE digunakan untuk memantau intensitas
latihan karena respon hemodinamik terhadap latihan dapat berubah akibat obat
anti-hipertensi.
|
Time
(durasi)
|
30-60
menit secara terus-menerus per hari atau intermiten
|
Type
(jenis)
|
Latihan
aerobik
|
Table 4 Latihan Resistensi Untuk Hipertensi
Frekuensi
|
2-3 hari per minggu
|
Intensitas
|
Intensitas sedang, 60-80% 1RM
15-20 repetisi
|
Time
(durasi)
|
1-2 set tiap latihan
8-10 latihan
|
Type
(jenis)
|
Latihan yang berbeda yang menargetkan pada kelompok otot utama. Hindari
latihan isometric dan menahan nafas (valsava
maneuver) selama latihan
|
Selain olahraga yang di rekomendasikan untuk penderita hipertensi, ada pula
olahraga dan aktifitas fisik yang tidak dianjurkan atau bahkan dilarang untuk
penderita hipertensi. Adapun beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk
menentukan boleh atau tidaknya seorang penderita hipertensi melakukan olahraga
yang sudah direkomendasikan menurut Prasetyo, Y., sebagai berikut : (1) Penderita
hipertensi dikontrol tanpa atau dengan obat terlebih dahulu tekanan darahnya,
sehingga tekanan darah sistolik tidak melebihi 160 mmHg dan tekanan diastolic
tidak melebihi 100 mmHg, Sebelum olahraga perlu
mendapatkan informasi mengenai penyebab hipertensinya (2) Sebelum penderita
hipertensi latihan sebaikanya melakukan uji latih jantung terlebih dahulu
dengan beban (treadmill/ergometer)
agar dapat dinilai rekasi tekanan jantung dan aktifitas kelistrikan listiknya
(EKG). (3) Saat melakukan uji latih sebaiknya obat yang sedang dikonsumsi tetap
dikonsumsi. (4) Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan. (5) Olahraga
peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan seperti angkat beban karena dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah secara mendadak.
Efek
dari olahraga dapat memengaruhi tekanan darah pada seseorang terutama pada
penderita hipertensi. Efek tersebut tidak secara langsung berpengaruh tetapi
memengaruhi dengan cara intervensi ke tubuh serta kondisi pasien. Menurut
hagberg. J m., park. J., brown. M d., 2000, efek-efek olahraga terhadap
hipertensi sebagai berikut : (1) efek terhadap tekanan sistolik dan diastolic, latihan aerobik yang sesuai rekomendasi untuk penderita hipertensi telah
dibuktikan dalam menurunkan tekanan darah yang meningkat. Latihan aerobik dapat
menurunkan tekanan sistolik pada pendertia hipertensi sebanyak 70% dari
keseluruhan sampel sebesar 10.5 mmhg atau setara penurunan dari 154 mmhg
menjadi 143 mmhg. Sedangkan untuk penurunan tekanan diastolik pada 78% dari
jumlah sampel sebesar 8,6 mmhg atau setara dari 98 mmhg menjadi 89 mmhg. (2) efek pada
jenis kelamin (gender), jenis kelamin antara pria dan wanita memiliki perbedaan terutama dalam
produksi hormon esterogen. Hormone esterogen lebih identik terdapat pada
wanita, hal tersebut ternyata berpengaruh pada kondisi tekanan darah seseorang
yang juga akan berubah ketika seseorang melakukan olahraga. Dalam penelitian
disebutkan bahwa wanita dengan peningkatan tekanan darah ketika melakukan
olahraga secara rutin dapat membantu menurunkan hipertensi yang diderita.
Wanita dengan olahraga tekanan diastoliknya menurun yaitu sekitar 10,5 mmhg
daripada pada pria yang hanya sekitar 7,8 mmhg (hagberg. J m., park. J., brown.
M d., 2000). (3) efek pada umur, umur ternyata juga dapat membantu olahraga untuk menurunkan tekanan darah
pada penderita hipertensi. Dalam penelitian disebutkan bahwa pada interval umur
41-60 tahun lebih mudah terjadi penurunan tekanan darah dibanding pada umur
yang lebih muda dengan rentang 21-40 tahun atau bahkan pada umur yang lebih
tua. (4) efek
pada intensitas latihan olahraga, intensitas
olahraga juga dapat memengaruhi penurunan tekanan darah, terbukti pada orang
yang melakukan olahraga dengan intensitas rendah hingga sedang lebih efisien
menurunkan tekanan darah dibandingkan dengan olahraga dengan intensitas tinggi.
Olahraga intensitas rendah hingga sedang atau
≤ 70% vo2max dapat menurunkan tekanan sistolik sekitar 50%
dibandingkan dengan intensitas tinggi atau ≥ 70% vo2max. (5) efek pada panjangnya waktu olahraga, panjangnya waktu olahraga juga akan berpengaruh dalam penurunan tekanan
darah pada penderita hipertensi, semakin sering seseorang penderita hipertensi
melakukan olahraga maka akan semakin cepat dan mudah pula penurunan tekanan
darah. Dalam penelitian disebutkan bahwa jumlah panjang waktu olahraga 20
minggu secara rutin dapat menurunkan tekanan sistolik sebesar 11.1 mmhg dan
tekanan diastolic sebesar 9,1 mmhg dibandingkan dengan panjang waktu olahraga
yang hanya dilakukan 1-10 minggu secara rutin yang hanya sebesar 9,8 mmhg pada
tekanan sistolik dan 8,4 mmhg pada tekanan diastolic. (6) efek pada penurunan berat badan, olahraga dapat membantu
menurunkan berat badan pada seseorang terutama pada penderita hipertensi. Hal
tersebut secara tidak langsung juga dapat menurunkan tekanan darah secra
signifikan. Pengaturan diet untuk menurunkan berat badan yang dikombinasikan
dengan olahraga secara teratur sesuai aturan dapat menurunkan tekanan sistolik
sebesar 12,5 mmhg dan tekanan diastolik sebesar 7,9 mmhg.
Penyakit Degeratif
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang
mengiringi proses penuaan. Degeneratif merupakan proses berkurangnya fungsi sel
saraf secara bertahap sehingga sel saraf yang sebelumnya berfungsi normal
menjadi tidak normal bahkan bisa sama sekali tidak berfungsi, akibatnya
penurunan daya tahan sel saraf dan mengakibatkan kematian sel.
Ada lebih dari 50 jenis penyakit yang
termasuk dalam penyakit degeneratif, namun yang banyak dijumpai adalah penyakit
jantung, diabetes, dan stroke yang merupakan penyebab kematian nomor satu pada
orang dewasa. Ketiga jenis penyakit ini seringkali dipacu dengan adanya pola
hidup yang kurang sehat.
Penyebab umum timbulnya penyakit
degeneratif adalah faktor usia, sehingga penyakit ini tidak bisa disembuhkan
namun dapat dikendalikan. Untuk dapat mengendalikan penyakit ini salah satu
caranya adalah menjaga kesehatan tubuh dengan gaya hidup sehat. Berusaha selalu
beraktifitas fisik, istirahat yang cukup serta makan makanan bergizi seimbang
dan hindari merokok baik perokok aktif maupun perokok pasif. Pengendalian
lingkungan harus dilakukan pula secara terpadu, yaitu dengan memperhatikan
sumber zat yang dikonsumsi baik air, makanan maupun udara sekitarnya.
Berdasarkan data dalam Tabel 1 diatas
ternyata bahwa Kanker (Neoplasma diseases) (merupakan sumber penyakit yang
paling besar (40%) penyebab kematian manusia. Yang nomor dua adalah penyakit
yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah yaitu sebesar 39%, Sedangkan hati
(sirosis) dan gula (diabetes) hanya masing-masing menyumbang
dibawah 2%. Jadi penyakit kanker yang disebabkan oleh asap rokok merupakan
penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian.
Tabel 5. Persentase kematian
yang disebabkan oleh berbagai sebab macam penyakit di Inggris dan Wales yang berumur
antara 35-69 tahun, pada tahun 1992.
Sumber: Doll (1995).
Berikut
adalah beberapa faktor penting yang wajib diperhatikan oleh penderita penyakit
degeneratif dalam melakukan olahraga: (1) frekuensi, seberapa sering seorang penderita dm harus melakukan
olahraga? Menurut penelitian, penderita dm memang diwajibkan untuk sering
melakukan olahraga. Penderita dm yang memiliki berat badan berlebih sangat
dianjurkan untuk berolahraga setiap hari. Karena selain baik untuk membantu
mengontrol gula darah, olahraga yang dilakukan setiap hari juga dapat membantu
membakar kalori dan mengurangi lemak yang ada di dalam tubuh. (2) intensitas, intensitas dalam melakukan
olahraga juga perlu diperhatikan oleh penderita dm. Namun sayangnya, masih
banyak penderita dm yang belum mengetahui masalah intensitas ini. Intensitas
yang dimaksud adalah peningkatan denyut jantung setelah melakukan olahraga.
Penderita dm disarankan untuk melakukan olahraga sampai denyut jantungnya
bertambah sebesar 50% hingga 75% dari denyut nadi normal. Oleh sebab itu,
hitunglah terlebih dahulu berapa denyut jantung anda sebelum melakukan olahraga
dan istirahatlah atau berhentilah melakukan olahraga jika denyut jantung anda
sudah mencapai 50% hingga 75%. (3) durasi,
olahraga memang sangat penting bagi tubuh terutama bagi penderita dm namun
perlu diingat bahwa olahraga juga harus dilakukan sesuai dengan durasi yang
disarankan. Karena olahraga yang dilakukan terlalu lama justru dapat
menyebabkan masalah bagi penderita dm. Penderita dm disarankan untuk melakukan
olahraga kurang lebih selama 20 hingga 60 menit. Namun khusus untuk penderita
dm yang memiliki berat badan berlebih disarankan untuk melakukan olahraga
selama 60 menit. (4) jenis olahraga
, sebelum memulai olahraga, penderita dm juga harus mengetahui bahwa jenis
olahraga juga perlu diperhatikan. Salah memilih jenis olahraga dapat
menyebabkan masalah. Lakukan olahraga yang intensitasnya dapat dipantau seperti
senam, renang, bersepeda, dan juga jalan kaki.
PEMBAHASAN
Sindroma
Metabolik atau dikenal dengan metabolic syndrome (Mets) adalah
sebuah sebutan untuk sekelompok kelainan dengan berbagai konsekuensi klinis,
yang ditandai dengan adanya gangguan toleransi glukosa, resistensi insulin,
dislipidemia, hipertensi, kelainan koagulasi dan obesitas visceral. Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko
metabolik yang berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler
artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia
atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma,
keadaan prototrombik, dan proinflamasi (Widjaya, 2004).
Sindrom
metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi,
obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi
tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut
memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer (WHO, 2000). Pencegahan penyakit ini yaitu bagi yang memiliki faktor resiko genetik dan riwayat
penyakit dalam keluarga, harus lebih dini dan lebih konsisten lagi untuk
menjaga kesehatannya, serta harus melatih anak-anaknya untuk lebih aktif secara
fisik agar mereka terhindar juga dari sindroma metabolik. Meningkatkan gerak
tubuh dan olah raga secara rutin seperti; jogging, sepeda, berenang, yoga, dll
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang
mengiringi proses penuaan. Degeneratif merupakan proses berkurangnya fungsi sel
saraf secara bertahap sehingga sel saraf yang sebelumnya berfungsi normal
menjadi tidak normal bahkan bisa sama sekali tidak berfungsi, akibatnya
penurunan daya tahan sel saraf dan mengakibatkan kematian sel. Ada lebih dari
50 jenis penyakit yang termasuk dalam penyakit degeneratif, namun yang banyak
dijumpai adalah penyakit jantung, diabetes, dan stroke yang merupakan penyebab
kematian nomor satu pada orang dewasa. Ketiga jenis penyakit ini seringkali
dipacu dengan adanya pola hidup yang kurang sehat.
Penyebab umum timbulnya penyakit
degeneratif adalah faktor usia, sehingga penyakit ini tidak bisa disembuhkan
namun dapat dikendalikan. Untuk dapat mengendalikan penyakit ini salah satu
caranya adalah menjaga kesehatan tubuh dengan gaya hidup sehat. Berusaha selalu
beraktifitas fisik, istirahat yang cukup serta makan makanan bergizi seimbang
dan hindari merokok baik perokok aktif maupun perokok pasif.
Aktivitas fisik dapat dikatakan kegiatan
olahraga, olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana
untuk memelihara gerak (mempertahankan
hidup) dan meningkatkan kemampuan gerak (meningkatkan kualitas hidup). Seperti
halnya makan, olahraga merupakan kebutuhan hidup yang sifatnya periodik,
artinya olahraga sebagai alat untuk memelihara dan membina kesehatan. Olahraga
merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani
dan sosial. Struktur
anatomis-antthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional
dan kecerdasan intelektualnya maupun kemampuannya bersosialisasi dengan
lingkungannnya nyata lebih unggul pada siswa-siswa yang tidak aktif mengikuti
aktivitas olahraga (Watson: Children in
Sport dalam Bloomfield, Fricker and Fitch, 1992).
Peran olahraga kesehatan dalam hubungannya
dengan penyakit ini terutama terhadap golongan penyakit non-infeksi. Terhadap
penyakit infeksi khususnya dalam keadaan akut, olahraga justru dapat
membahayakan. Akan tetapi dalam keadaan sehat, olahraga kesehatan bahkan telah
terbukti dapat meningkatkan unsur-unsur kekebalan (antibody) dalam tubuh,
sehingga secara umum pelaku-pelaku olahraga kesehatan memang tidak mudah sakit (Giriwijoyo, Sidik, 2013:43). Namun demikian untuk mendapatkan kekebalan yang
lebih spesifik terhadap suatu penyakit, masih tetap diperlukan pencegahan
melalui vaksinasi. Ini yang perlu diperhatikan mengapa orang masih terkena
influenza, demam tifus perut, dan penyakit-penyakit infeksi lainnya, walaupun
ia telah melakukan olahraga kesehatan secara teratur.
Mencapai
level yang lebih tinggi tentang
aktivitas fisik dalam suatu populasi juga akan memberikan kontribusi secara
tidak langsung dalam sektor penting khususnya kemajuan
bagi pembangunan manusia dan kemajuan ekonomi (WHO, 2003). Risiko semua
penyebab kematian berkurang 30% di antara mereka yang secara teratur aktif
secara fisik (Department of Health, 2011).
Olahraga dan aktivitas fisik dapat memainkan peran utama dalam menurunkan
risiko penyakit kardiovaskular, kanker tertentu, diabetes tipe 2 dan obesitas (O’Donovan, dkk, 2010).
KESIMPULAN
Peran kegitan olahraga kesehatan dalam
hubungannya dengan penyakit ini terutama terhadap golongan penyakit
non-infeksi. Terhadap penyakit infeksi khususnya dalam keadaan akut, olahraga
justru dapat membahayakan. Akan tetapi dalam keadaan sehat, olahraga kesehatan
bahkan telah terbukti dapat meningkatkan unsur-unsur kekebalan (antibody) dalam
tubuh, sehingga secara umum pelaku-pelaku olahraga kesehatan memang tidak mudah
sakit.
No comments:
Post a Comment