Monday, January 16, 2017

Teori Belajar Behavioristik Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran



TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN



Mohammad Syamsul Anam
Wasis D. Dwiyogo


Jurusan Pendidikan Olahraga, Progam Pascasarjan
Universitas Negeri Malang



ABSTRAK: Menurut teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori yang terpenting adalah masukan atau Input yang berupa stimulus dan keluaran atau Output yang berupa respon. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.

Kata kunci: Pembelajaran, Behavioristik.


Salah satu faktor yang mendasari perlunya perubahan praktek pembelajaran di kelas yang masih sangat tradisional adalah faktor psikologis yang di tandai dengan munculnya teori belajar yang dikenal dengan behavioristik.
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon). Teori Behavioristik mementingkan faktor lingkungan, menekankan pada faktor bagian, menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif, sifatnya mekanis dan mementingkan masa lalu.
“Gage dan Berliner menyatakan bahwa menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman” (Maziatul, 2009). Pada intinya, teori behavioristik menekankan pada pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Seorang siswa dianggap telah belajar sesuatu jika siswa yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya. Menurut teori ini kegiatan belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus atau apa saja yang diberikan guru kepada siswa dan output yang berupa respon atau reaksi/tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran di aplikasikan dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya. Pembelajaran yang berpedoman pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersusun dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. “Siswa di harapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang di pahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus di pahami oleh murid” (Degeng, 2006).
Pengaruh bagi guru adalah bahwa mengajar merupakan kegiatan pemindahan pengetahuan dari benak guru ke otak siswa. Oleh karena itu peran guru sebagai pendidik harus mengembangkan kurikulum yang terancang dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa harus di hadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin menjadi pegangan dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan dalam penambahan pengetahuan di kategorikan sebagai kesalahan yang perlu di hukum dan keberhasilan belajar di kategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. “Siswa adalah obyek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus di pegang oleh sistem yang berada diluar diri siswa. Demikian juga, ketaatan pada aturan juga di pandang sebagai penentu keberhasilan belajar” (Degeng, 2006). Maka dari itu perlu kita ketahui mengenai apa yang dimaksud teori belajar  behavoristik dan bagai mana implikasi teori behavioristik dalam pembelajaran.

Pengertian Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah laku. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau Input yang berupa stimulus dan keluaran atau Output yang berupa respon.  Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.  Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat, begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan.
Kelebihan Teori Behavioristik: (1) Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar. (2) Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan. (3) Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada prilaku yang tampak. (4) Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal. (5) Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu. (6) Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul. (7) Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan. (8) Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kekurangan Teori Behavioristik: (1) Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap. (2) Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini. (3) Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif. (4) Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa. (5) Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan oleh guru. (6) Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa. (7) Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif. (8) Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher cenceredlearning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. (9) Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.

Prinsip Aplikasi Teori Behavirostik Dalam Pembelajaran
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi  jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan  terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya percobaan  sang  tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada  beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan (1997: 23), beberapa prinsip tersebut adalah: (1) Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika  yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu. (2) Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati. (3) Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
Jika yang menjadi titik tekan dalam  proses terjadinya belajar pada diri siswa adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk  memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada siswa. (2) Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan   muncul  pada diri siswa. (3) Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu : (a) Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable). (b) Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable) (c) Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit). (d) Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi  atau setia  dalam ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya  semacam hadiah (reward).
Aplikasi  teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku / kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut: (1) Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap siswa  juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau merespons sejumlah materi dalam pembelajaran. Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu: (a) Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan awal para siswa, yang berfungsi sebagai  prasyarat (prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan. (b) Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman  tersebut, guru dapat memberikan bahan yang lebih  relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa. (c) Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk latar belakang keluarga, latar  belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. (d) Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik jasmaniah maupun rohaniah. (e) Akan dapat mengetahui  aspirasi dan kebutuhan para siswa. (f) Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa. (g) Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya. (h) Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa (Oemar Hamalik, 2002:38 - 40). (2) Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru  benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan  oleh  siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian  siswa  ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu siswa, (a) menyesuaikan diri dengan materi yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan  (dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau (b) materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman, 1997:108). 
Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu: siswa dapat dikelompokkan dalam  dua kategori, yakni:  a)  sudah cukup paham dan mengerti, serta  b) belum paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan menjadi dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus dipisah. Hal seperti  ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi pada penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih  memadai, di samping memerlukan  dana (budget)  yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan adalah, atas dasar hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat persentase penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui  adalah  bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah banyak yang paham dan mengerti, dan pada sebagian pokok materi pembalajaran yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak mengerti dan paham. 
Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan  oleh guru terhadap kondisi  materi pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta untuk menelaah dan membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu diminta melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh siswa, pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara  penuh di dalam kelas. Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme dalam proses pembelajaran  adalah:(1) Mengidentifikasi tujuan pembelajaran. (2) Melakukan analisis pembelajaran. (3) Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar. (4) Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.  (5) Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll). (6) Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode,  media dan waktu). (7) Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya). (8) Mengamati dan menganalisis respons pembelajar. (9) Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif, serta (10) Merevisi kegiatan pembelajaran (Mukminan, 1997: 27).

KESIMPULAN
Teori belajar memiliki beberapa fungsi dalam proses pembelajaran, antara lain fungsi pemahaman, fungsi prediktif, fungsi kontrol, dan fungsi rekomendatif. Melalui fungsi rekomendatif, teori behavioristik dapat merekomendasikan pedoman instruksional kepada pendidik, yang berupa stimulus-stimulus yang tepat dalam proses pembelajaran sehingga memunculkan respon peserta didik yang merupakan hasil belajar yang diinginkan.
Teori belajar behavioristik menjelaskan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dari beberapa teori belajar behavioristik yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa untuk memunculkan respon yang diharapkan dibutuhkan penguatan (reinforcement).
Aplikasi teori belajar behavioristik sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya sehingga model yang paling cocok adalah Drill dan Practice, contohnya: dimanfaatkan di pendidikan anak usia dini, TK untuk melatih kebiasaan baik, karena anak-anak sangat mudah meniru perilaku yang ada dilingkungannya dan sangat suka dengan pujian dan penghargaan. Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi teori behavioristik ini banyak digunakan antara lain untuk melatih percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA
Churiyah, M. 2009. Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran, (online), (http://madziatul.blogspot.com/2009/07/teori-belajar-behavioristik-dan.html), diakses 14 September 2015.
Degeng, I.N.S. 2006. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
DR. C. Asri Budiningsih, 2004. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Rinika Cipta, Yogyakarta.
Sukmadinata, N.S, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Syah, M. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;  Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publish.
Hamalik,  Oemar. 2002.  Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Mukminan. 1997.  Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Suparman, Atwi. 1997. Desain Instruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas.



No comments:

Post a Comment