TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM
PEMBELAJARAN
Mohammad Syamsul Anam
Wasis D. Dwiyogo
Jurusan
Pendidikan Olahraga, Progam Pascasarjan
Universitas
Negeri Malang
Email: Syamsulanam42@gmail.com
ABSTRAK: Menurut teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori yang terpenting
adalah masukan atau Input yang
berupa stimulus dan keluaran atau Output yang
berupa respon. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Kata
kunci: Pembelajaran, Behavioristik.
Salah
satu faktor yang mendasari perlunya perubahan praktek pembelajaran di kelas
yang masih sangat tradisional adalah faktor psikologis yang di tandai dengan
munculnya teori belajar yang dikenal dengan behavioristik.
Teori
belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui
rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan
hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak,
baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan
respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans.
Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku
S-R (stimulus-Respon). Teori Behavioristik mementingkan faktor lingkungan,
menekankan pada faktor bagian, menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan
mempergunakan metode obyektif, sifatnya mekanis dan mementingkan masa lalu.
“Gage
dan Berliner menyatakan bahwa menurut teori behavioristik belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman” (Maziatul, 2009). Pada
intinya, teori behavioristik menekankan pada pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Seorang
siswa dianggap telah belajar sesuatu jika siswa yang bersangkutan dapat
menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya. Menurut teori ini kegiatan belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus atau apa saja yang diberikan
guru kepada siswa dan output yang berupa respon atau reaksi/tanggapan siswa
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Teori
behavioristik dalam kegiatan pembelajaran di aplikasikan dari beberapa hal
seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa, media
dan fasilitas pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya.
Pembelajaran yang berpedoman pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersusun dengan
rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. “Siswa di harapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang di
pahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus di pahami oleh murid” (Degeng,
2006).
Pengaruh
bagi guru adalah bahwa mengajar merupakan kegiatan pemindahan pengetahuan dari
benak guru ke otak siswa. Oleh karena itu peran guru sebagai pendidik harus
mengembangkan kurikulum yang terancang dengan menggunakan standart-standart
tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Karena
teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi
dan teratur, maka siswa harus di hadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat.
Pembiasaan
dan disiplin menjadi pegangan dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan dalam penambahan pengetahuan di
kategorikan sebagai kesalahan yang perlu di hukum dan keberhasilan belajar di
kategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. “Siswa adalah
obyek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus di
pegang oleh sistem yang berada diluar diri siswa. Demikian juga, ketaatan pada
aturan juga di pandang sebagai penentu keberhasilan belajar” (Degeng, 2006).
Maka dari itu perlu kita ketahui mengenai apa yang dimaksud teori belajar behavoristik dan bagai mana implikasi teori
behavioristik dalam pembelajaran.
Pengertian Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik,
adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara
stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan
yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang
baru sebagai hasil interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah laku. Sebagai
contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat,
dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum
dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar.
Karena ia belum dapat menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting
adalah masukan atau Input yang
berupa stimulus dan keluaran atau Output yang
berupa respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman
kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang
terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus
dan respon. oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan
apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan
diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku.
Faktor lain yang dianggap penting
oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat
memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat,
begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement)
responpun akan tetap dikuatkan.
Kelebihan Teori Behavioristik: (1) Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi
belajar. (2) Guru tidak membiasakan memberikan
ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan
kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan. (3) Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan
mendapatkan pengakuan positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat
penghargaan negative yang didasari pada prilaku yang tampak. (4) Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang
berkesinambungan, dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah
terbentuk sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan
lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang
berkesinambungan tersebut dan lebih optimal. (5) Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang
sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam
bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu
mampu menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu. (6) Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang
lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul. (7) Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan,
spontanitas, dan daya tahan. (8) Teori
behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi
peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kekurangan Teori Behavioristik: (1) Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap. (2) Tidak setiap pelajaran dapat
menggunakan metode ini. (3) Murid
berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa di
dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif. (4) Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para
tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa. (5) Murid
dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru. (6) Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf
siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa
diselesaikan oleh siswa. (7) Cenderung
mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak
produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif. (8) Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher
cenceredlearning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil
yang dapat diamati dan diukur. (9) Penerapan
metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center,
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid.
Prinsip Aplikasi Teori
Behavirostik Dalam Pembelajaran
Teori behaviorisme yang menekankan
adanya hubungan antara stimulus (S) dengan respons (R) secara umum dapat
dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan
belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran,
dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang
berfungsi sebagai reinforcement (penguatan
terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal
dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka
dalam konteks pembelajaran ada beberapa
prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan (1997: 23), beberapa
prinsip tersebut adalah: (1) Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar
adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu
jika yang bersangkutan dapat menunjukkan
perubahan tingkah laku tertentu. (2) Teori ini beranggapan bahwa yang
terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, sebab inilah yang
dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya dianggap tidak penting
karena tidak dapat diamati. (3) Reinforcement,
yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor
penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
Jika yang menjadi titik tekan
dalam proses terjadinya belajar pada
diri siswa adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana
hal ini berkaitan dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka
penting kiranya untuk memperhatikan
hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan
bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud adalah sebagai
berikut: (1) Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk
diberikan kepada siswa. (2) Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang
akan muncul pada diri siswa. (3) Untuk mengetahui apakah
respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai dengan apa yang
diharapkan, maka guru harus mampu : (a) Menetapkan bahwa respons itu dapat
diamati (observable). (b) Respons
yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable) (c) Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat
dinyatakan secara eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit). (d) Agar respons itu dapat senantiasa terus
terjadi atau setia dalam ingatan/tingkah laku siswa, maka
diperlukan sekali adanya semacam hadiah (reward).
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran
untuk memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku
/ kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal,
sebagai berikut: (1) Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa Siswa
sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi
dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini
dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal
apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan
dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap
siswa juga memiliki karakteristik
sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau merespons sejumlah materi dalam
pembelajaran. Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan
analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu: (a) Akan memperoleh
gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan awal para siswa, yang
berfungsi sebagai prasyarat
(prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan. (b) Akan memperoleh
gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa.
Dengan berdasar pengalaman tersebut,
guru dapat memberikan bahan yang lebih
relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa.
(c) Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk
latar belakang keluarga, latar belakang
sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. (d) Akan dapat mengetahui tingkat
pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik jasmaniah maupun rohaniah. (e) Akan
dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan
para siswa. (f) Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa. (g) Dapat
mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa
sebelumnya. (h) Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para
siswa (Oemar Hamalik, 2002:38 - 40). (2) Merencanakan
materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya proses pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru benar-benar
sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh siswa dan juga sesuai dengan
kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate
terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian siswa
ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali
tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi
layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya
(sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita
dapat menggunakan dua pendekatan yaitu siswa, (a) menyesuaikan diri dengan
materi yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan
pengelompokkan (dalam hal ini tes
dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau (b) materi pembelajaran
disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman, 1997:108).
Materi pembelajaran yang akan
dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan keadaan siswa atau siswa menyesuaikan
materi, keduanya dapat didahului dengan mengadakan tes awal atau tes prasyarat
(prerequisite test). Hasil dari
prerequisite test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu: siswa dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yakni: a)
sudah cukup paham dan mengerti, serta
b) belum paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa
dikelompokkan menjadi dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang
belajar harus dipisah. Hal seperti ini
tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi pada penyediaan
perangkat pembelajaran yang lebih
memadai, di samping memerlukan
dana (budget) yang lebih besar.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah, atas dasar hasil analisis kemampuan
awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat persentase penguasaan
materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui adalah
bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah
banyak yang paham dan mengerti, dan pada sebagian pokok materi pembalajaran
yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak mengerti dan paham.
Rencana strategi pembelajaran yang
dapat dilakukan oleh guru terhadap
kondisi materi pembelajaran yang
sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa dilakukan pembelajaran
dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta untuk menelaah dan membahas di rumah
atau dalam kelompok belajar, lalu diminta melaporkan hasil diskusi kelompok
dimaksud). Sedangkan terhadap sebagian besar pokok materi pembelajaran yang
tidak dan belum diketahui oleh siswa, pada pokok materi inilah yang akan
dibelajarkan secara penuh di dalam
kelas. Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori
behaviorisme dalam proses pembelajaran
adalah:(1) Mengidentifikasi tujuan pembelajaran. (2) Melakukan analisis
pembelajaran. (3) Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar.
(4) Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar. (5) Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan,
topik, dll). (6) Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu). (7) Mengamati stimulus yang
mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya). (8) Mengamati dan
menganalisis respons pembelajar. (9) Memberikan penguatan (reinfrocement) baik
posistif maupun negatif, serta (10) Merevisi kegiatan pembelajaran (Mukminan, 1997:
27).
KESIMPULAN
Teori belajar memiliki beberapa fungsi
dalam proses pembelajaran, antara lain fungsi pemahaman, fungsi prediktif,
fungsi kontrol, dan fungsi rekomendatif. Melalui fungsi rekomendatif, teori
behavioristik dapat merekomendasikan pedoman instruksional kepada pendidik,
yang berupa stimulus-stimulus yang tepat dalam proses pembelajaran sehingga
memunculkan respon peserta didik yang merupakan hasil belajar yang diinginkan.
Teori belajar behavioristik
menjelaskan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dari beberapa teori belajar
behavioristik yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa untuk memunculkan
respon yang diharapkan dibutuhkan penguatan (reinforcement).
Aplikasi teori belajar behavioristik
sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan
yang mengandung unsur-unsur seperti: Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya sehingga model yang
paling cocok adalah Drill dan Practice, contohnya: dimanfaatkan
di pendidikan anak usia dini, TK untuk melatih kebiasaan baik, karena anak-anak
sangat mudah meniru perilaku yang ada dilingkungannya dan sangat suka dengan
pujian dan penghargaan. Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi teori behavioristik ini banyak digunakan antara lain untuk melatih
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Churiyah, M. 2009. Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya
dalam Pembelajaran, (online),
(http://madziatul.blogspot.com/2009/07/teori-belajar-behavioristik-dan.html),
diakses 14 September
2015.
Degeng, I.N.S. 2006. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable.
Jakarta: Depdikbud
DR. C. Asri Budiningsih, 2004. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit
Rinika Cipta, Yogyakarta.
Sukmadinata, N.S, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Syah, M. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan
Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publish.
Hamalik, Oemar. 2002.
Perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Mukminan.
1997. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Suparman, Atwi.
1997. Desain Instruksional. Jakarta:
Pusat Antar Universitas.
No comments:
Post a Comment